Dalam kebisingan dunia yang semakin mengabaikan kedalaman makna hidup, muncul pribadi-pribadi langka yang memilih jalan sepi demi menyalakan cahaya di ruang-ruang yang mulai gelap. Abdullah Dahlawi, S.Hum., M.S.I., adalah satu dari sedikit sosok yang membaktikan hidupnya untuk mempertemukan kembali umat dengan Kalam Ilahi, melalui gerakan literasi Al-Qur’an yang dijalankannya dengan penuh keikhlasan dan keteguhan.
Ia bukan sekadar penyuluh agama. Ia adalah pelintas batas-batas formal dakwah, melampaui ruang masjid, mimbar, dan pengajian konvensional. Abdullah hadir di ruang-ruang yang terlupakan: di sekolah, lembaga pemasyarakatan, pondok pesantren, rumah mualaf, bahkan pusat-pusat konsultasi keluarga dan calon pengantin. Di sana, ia menyalakan kembali bara semangat untuk membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an—sebuah tugas berat yang ia emban tanpa henti.
Penghargaan sebagai perwakilan Provinsi Kepulauan Riau dalam ajang Penyuluh Agama Islam Award Tingkat Nasional 2025 pada kategori Peningkatan Literasi Al-Qur’an bukanlah puncak prestasi bagi Abdullah, melainkan bentuk pengakuan atas jalan panjang yang telah ia tapaki dalam diam. Jalan yang tidak diwarnai tepuk tangan, namun dipenuhi jejak-jejak perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Fokus utama perjuangannya adalah menyelamatkan umat dari keasingan terhadap Al-Qur’an. Dalam era ketika banyak Muslim lebih akrab dengan gawai daripada mushaf, Abdullah mengingatkan pentingnya mengembalikan Al-Qur’an sebagai pusat kehidupan spiritual. Ia memilih Metode Ummi sebagai medium dakwahnya—sebuah sistem belajar Al-Qur’an yang terstruktur, lembut, dan adaptif terhadap kebutuhan semua usia dan latar belakang.
Melalui metode itu, Abdullah tidak sekadar mengajarkan cara membaca huruf hijaiyah. Ia menghidupkan suasana belajar yang penuh cinta, sabar, dan kesadaran ruhani. Ia membimbing dengan pendekatan yang personal dan menyentuh, mengubah ketidaktahuan menjadi kemauan, mengubah kecanggungan menjadi kebiasaan, dan pada akhirnya menumbuhkan kecintaan pada Kalamullah.
Tidak sedikit masyarakat yang sebelumnya buta huruf Al-Qur’an kini mampu membaca dengan tartil. Anak-anak yang sebelumnya jauh dari mushaf kini mengisi hari-harinya dengan tilawah. Majelis taklim yang awalnya hanya sebagai forum seremonial kini menjadi pusat pembelajaran dan pembinaan spiritual yang hidup. Semua ini bukan karena kekuatan program, tetapi karena kekuatan keteladanan.
Yang menjadikan Abdullah Dahlawi berbeda bukan hanya pengetahuannya yang luas atau gelarnya yang akademik, melainkan konsistensinya dalam menjadi teladan. Ia menyampaikan Al-Qur’an tidak hanya melalui lisan, tapi lewat sikap, akhlak, dan pelayanan. Ia membangun dakwah yang membumi—mengakar dalam kebutuhan umat, tetapi tetap menjulang dalam makna ilahiah.
Dalam konteks bangsa yang tengah mencari arah spiritualnya kembali, kiprah Abdullah Dahlawi menjadi sangat penting. Ia mengingatkan kita bahwa keberadaban umat dimulai dari kemampuan mengenal dan mencintai wahyu Tuhan. Ia membuktikan bahwa literasi Al-Qur’an bukan sekadar alat ibadah, tetapi senjata peradaban; bukan sekadar program religius, tetapi jalan menuju kebangkitan umat yang hakiki.
Ketika dunia sibuk memburu gelar dan materi, Abdullah Dahlawi sibuk membangkitkan ruh yang tertidur. Ketika yang lain berlomba memperluas pengaruh di dunia maya, ia memilih hadir di dunia nyata—mendampingi satu per satu hati yang masih mencari arah. Dari sudut-sudut sunyi itu, ia menunjukkan bahwa perubahan sejati bukan berasal dari keramaian, tapi dari ketulusan dalam keheningan.
Di tengah krisis spiritual yang melanda banyak generasi, Abdullah Dahlawi menjadi jawaban atas doa-doa yang mungkin tidak diucap. Ia adalah cahaya dari pinggiran—tak benderang mencolok, tapi cukup terang untuk menuntun langkah kembali ke Al-Qur’an.