LUBUKLINGGAU || SUMSEL Kompassindonesianews.com.- Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Kota Lubuklinggau saat ini tengah menjadi sorotan tajam menyusul dugaan praktik pungutan liar (pungli) dan penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) kepada para peserta didiknya. Tindakan ini disinyalir melanggar sejumlah peraturan pendidikan yang berlaku, termasuk penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Dugaan ini muncul dari keluhan wali murid yang merasa keberatan dengan adanya pungutan sebesar Rp 50.000 bagi siswa yang naik ke kelas 2, serta biaya LKS sebesar Rp 200.000 saat kenaikan kelas. Padahal, peraturan pemerintah secara tegas melarang pungutan semacam itu di sekolah atau madrasah yang menerima dana BOS.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, pungutan yang memberatkan siswa atau orang tua/wali adalah dilarang. Bahkan, Komite Sekolah juga secara spesifik dilarang memungut dana dari peserta didik.
Terkait penjualan LKS, peraturan juga sangat jelas. Penjualan LKS oleh sekolah, termasuk MTs, dilarang keras. Hal ini disebabkan pengadaan LKS seharusnya dibiayai dari dana BOS, serta penjualan LKS dianggap memberatkan orang tua dan dapat dikategorikan sebagai pungutan liar.
Pada pasal 181 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 dan Pasal 12a Permendikbud Nomor 75 Tahun 2020 secara tegas melarang pendidik, tenaga kependidikan, maupun Komite Sekolah untuk menjual buku pelajaran, bahan ajar, atau perlengkapan lainnya.
Saat dikonfirmasi oleh awak media Kompassindonesianews.com pada 7 Juli 2025, Kepala MTsN 1 Lubuklinggau, Megang Arsiyanti, mengarahkan untuk mengonfirmasi langsung kepada Komite Sekolah terkait pungutan tersebut.
Selanjutnya, Ketua Komite MTsN 1 Lubuklinggau, saat dihubungi melalui WhatsApp, membenarkan adanya iuran komite sebesar Rp 50.000 per semester. Ia berdalih bahwa iuran tersebut berdasarkan hasil rapat bersama wali murid dan mengacu pada Keputusan Dirjen Pendis No. 3601 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Dana dan Sumber Daya Pendidikan oleh komite madrasah. Dana tersebut, menurutnya, digunakan untuk membantu meningkatkan mutu pendidikan, pengadaan sarana prasarana, kegiatan ekstrakurikuler yang tidak terakomodir dana BOS, serta honor guru honorer.
Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 dan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2020 kembali menegaskan bahwa sekolah penerima dana BOS tidak dibenarkan melakukan pungutan lain, apalagi yang bersifat wajib. Berbagai sanksi, mulai dari pengembalian dana, sanksi administratif dan kepegawaian, hingga sanksi hukum pidana dapat menjerat pihak yang melakukan pungutan liar.
Hingga berita ini ditayangkan, baik Kepala Sekolah maupun Ketua Komite MTsN 1 Lubuklinggau tidak lagi membalas konfirmasi dari Kompassindonesianews.com. Dugaan pungli dan penjualan LKS ini tentu menjadi perhatian serius bagi dunia pendidikan, mengingat adanya aturan yang jelas demi memastikan biaya pendidikan tidak menjadi beban bagi peserta didik dan orang tua/wali. (Andre)