https://kompassindonesianews.com/wp-content/uploads/2025/08/WhatsApp-Image-2025-08-14-at-13.38.09.jpeg

Meneguhkan Desain Konstitusional Polri: Antara Reposisi dan Transformasi Nilai Sipil

https://kompassindonesianews.com/wp-content/uploads/2025/08/WhatsApp-Image-2025-08-14-at-13.38.09.jpeg

kompasindonesianews.comJakartaoleh Dr. Bachtiar, Ketua APHTN-HAN Wilayah Banten dan Dosen FH UNPAM

Wacana mengenai reposisi kelembagaan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali mencuat dalam beberapa pekan terakhir. Gagasan yang mengemuka di berbagai forum akademik dan ruang publik itu mempertanyakan apakah Polri sebaiknya tetap berada di bawah Presiden seperti saat ini, atau ditempatkan di bawah kementerian tertentu seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum, atau bahkan kementerian baru yang menangani keamanan dalam negeri bila terbentuk di masa mendatang.

Isu ini sesungguhnya bukan hal baru. Sejak masa awal reformasi, kedudukan Polri telah menjadi bagian dari perdebatan besar mengenai reformasi sektor keamanan (security sector reform). Namun, di balik wacana tersebut, sesungguhnya tersimpan persoalan mendasar yang menyentuh jantung sistem ketatanegaraan Indonesia — yaitu keseimbangan kekuasaan, prinsip negara hukum, serta arah demokrasi konstitusional yang telah dibangun sejak 1998.

Kerangka Konstitusional Polri dalam UUD 1945

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menempatkan Polri sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan atau pemerintahan tertentu. Pasal 30 ayat (4) menegaskan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”

Formulasi ini memperlihatkan bahwa Polri memiliki posisi konstitusional yang unik. Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Kepolisian, Polri berada langsung di bawah Presiden dan dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang bertanggung jawab kepada Presiden sesuai peraturan perundang-undangan. Posisi ini menegaskan dua prinsip penting: Polri berada di luar subordinasi politik sektoral kementerian, dan tanggung jawab institusinya langsung kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dalam bidang eksekutif sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.

Menempatkan Polri di bawah kementerian justru akan mereduksi otonomi konstitusional lembaga ini. Lebih dari sekadar masalah birokrasi, langkah semacam itu berpotensi mengembalikan Polri ke dalam pola subordinasi politik yang telah dihapuskan sejak reformasi 1998, ketika Polri dipisahkan dari TNI. Jika Polri berada di bawah kementerian, maka ia akan berubah status menjadi “alat eksekutif”, bukan lagi “alat negara” yang bekerja atas dasar hukum dan kepentingan publik yang independen.

Selain itu, reposisi Polri memerlukan perubahan undang-undang bahkan mungkin amandemen konstitusi, sebab kedudukan Polri telah diatur secara eksplisit dalam UUD 1945. Upaya semacam itu bukan hanya rumit secara hukum, tetapi juga berisiko menimbulkan instabilitas dalam sistem ketatanegaraan.

Rasionalitas Politik Hukum dan Desain Demokratis

Desain kelembagaan Polri pascareformasi merupakan hasil kompromi politik hukum yang mendalam. Pemisahan Polri dari TNI melalui TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 menandai tonggak penting dalam proses demiliterisasi fungsi keamanan dalam negeri. TNI difokuskan pada pertahanan negara terhadap ancaman eksternal, sementara Polri bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat dari ancaman internal.

Keduanya merupakan alat negara yang bersifat komplementer, bukan subordinatif. Menempatkan Polri di bawah kementerian justru menciptakan risiko tumpang tindih kewenangan, fragmentasi komando, dan politisasi kebijakan keamanan. Dalam sistem presidensial, Presiden bertanggung jawab penuh atas keamanan nasional. Karena itu, garis komando langsung antara Presiden dan Kapolri menjadi bagian penting dari desain tata pemerintahan modern yang efektif.

Relasi Kekuasaan dan Mekanisme Check and Balances

Reposisi Polri juga berpotensi mengacaukan sistem keseimbangan kekuasaan yang sudah berjalan. Saat ini, mekanisme pengawasan dan akuntabilitas Polri dijalankan secara horizontal oleh DPR, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), serta masyarakat sipil. Jika Polri ditempatkan di bawah kementerian, kontrol politik akan menjadi berlapis dan dapat menimbulkan bias kekuasaan ganda. Dalam situasi seperti itu, kebijakan keamanan berisiko dipengaruhi oleh kepentingan sektoral kementerian yang tidak selalu sejalan dengan prinsip negara hukum dan kepentingan umum.

Dari aspek governance, Polri memiliki fungsi quasi-yudisial — yakni melakukan penyelidikan dan penyidikan. Bila lembaga ini berada di bawah kementerian, maka akan terjadi penggabungan antara fungsi politik (eksekutif) dan fungsi hukum, sesuatu yang jelas bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers).

Argumen bahwa reposisi Polri akan meningkatkan efisiensi dan koordinasi kebijakan keamanan juga tidak sepenuhnya berdasar. Koordinasi lintas lembaga sebenarnya telah terwadahi dalam forum-forum seperti rapat kabinet serta koordinasi rutin antara Kapolri, Menkopolhukam, dan Panglima TNI. Dengan kata lain, masalah koordinasi bukanlah soal struktur kelembagaan, melainkan tata kelola dan integritas pelaksanaannya.

Transformasi Nilai Sipil: Agenda Reformasi yang Tertunda

Sejarah menunjukkan bahwa penempatan Polri di bawah Presiden merupakan hasil perjuangan panjang untuk mengakhiri militerisasi politik dalam negeri. Sebelum reformasi, Polri berada dalam struktur ABRI dan berfungsi sebagai alat stabilitas politik. Setelah reformasi, Polri diarahkan menjadi institusi sipil yang profesional, berorientasi pada hukum dan pelayanan publik, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Namun, harus diakui bahwa reformasi Polri sejauh ini masih sebatas penataan struktural-formal, belum menyentuh dimensi substantif berupa internalisasi nilai-nilai sipil (civilian values). Polri secara hukum memang telah menjadi institusi sipil, tetapi secara kultural masih menyisakan tradisi militeristik. Akibatnya, muncul paradoks: di satu sisi Polri diharapkan berperilaku humanis dan melayani masyarakat, tetapi di sisi lain masih mengedepankan pendekatan kekuasaan.

Yang dibutuhkan kini bukanlah reposisi Polri ke bawah kementerian, melainkan transformasi nilai dan budaya kelembagaan agar Polri benar-benar menjadi instrumen demokrasi, bukan alat kekuasaan negara.

Refleksi Kritis: Menjaga Amanat Konstitusi

Reposisi Polri bukan semata soal teknis birokrasi, melainkan menyangkut persoalan filosofis dan konstitusional. Dalam kerangka negara hukum, Polri adalah pilar utama penegakan hukum yang berfungsi menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dan hak-hak warga negara.

Menempatkan Polri di bawah kementerian berarti menggeser orientasi dari rule of law menjadi rule by government — dari supremasi hukum menuju supremasi kekuasaan. Dalam sistem demokrasi konstitusional, hukum harus menjadi pengendali kekuasaan, bukan sebaliknya.

Kedudukan Polri di bawah Presiden telah teruji secara hukum, historis, dan politik. Desain ini sejalan dengan prinsip check and balances yang menjadi fondasi negara hukum modern. Tantangan ke depan bukan lagi menentukan di mana posisi Polri secara struktural, melainkan memastikan bahwa setiap kebijakan dan tindakan kepolisian mencerminkan nilai-nilai hukum, moralitas publik, dan demokrasi.

Meneguhkan desain konstitusional Polri berarti memperkuat komitmen terhadap amanat reformasi — membangun Polri sebagai alat negara yang profesional, berintegritas, dan berjiwa sipil. Transformasi nilai inilah yang menjadi kunci agar Polri dapat terus berperan sebagai pengayom masyarakat sekaligus penjaga keadilan dalam bingkai konstitusi.( Red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *